Meriam
bambu merupakan salah satu permainan tradisional Melayu khas cukup
populer serta dikenal di berbagai daerah-daerah Melayu, bahkan hampir
di seluruh wilayah nusantara pada umumnya. Selain disebut dengan
istilah meriam bambu, di berbagai daerah permainan ini dikenal juga
dengan nama bedil bambu, mercon bumbung, long bumbung, dan seterusnya.
Permainan bedil bambu ini biasanya dimainkan oleh anak-anak laki-laki
dalam rangka memeriahkan bulan puasa, menjelang hari raya, dan
peringatan hari besar agama maupun adat.
1. Asal-usul
Di
sejumlah daerah di Indonesia dan wilayah Melayu serumpun lainnya,
permainan tradisional yang satu ini dikenal dengan nama meriam bambu,
namun di beberapa daerah di Indonesia lainnya juga dikenal dengan nama yang lain. Di sejumlah daerah di wilayah Melayu, misalnya di Pangkal Pinang, meriam bambu dikenal juga dengan sebutan bedil bambu. Di Minangkabau disebut meriam betung atau badia batuang, sedangkan di Aceh disebut dengan bahasa lokal te`t beude trieng. Di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, permainan ini lebih familiar dengan penamaan mercon bumbung atau long bumbung. Di Banten dan di sejumlah daerah lainnya di tanah Sunda disebut dengan istilah bebeledugan. Sementara itu, masyarakat Gorontalo di Sulawesi dan suku bangsa di wilayah Indonesia bagian timur lainnya menyebut permainan ini dengan nama bunggo,
namun di beberapa daerah di Indonesia lainnya juga dikenal dengan nama yang lain. Di sejumlah daerah di wilayah Melayu, misalnya di Pangkal Pinang, meriam bambu dikenal juga dengan sebutan bedil bambu. Di Minangkabau disebut meriam betung atau badia batuang, sedangkan di Aceh disebut dengan bahasa lokal te`t beude trieng. Di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, permainan ini lebih familiar dengan penamaan mercon bumbung atau long bumbung. Di Banten dan di sejumlah daerah lainnya di tanah Sunda disebut dengan istilah bebeledugan. Sementara itu, masyarakat Gorontalo di Sulawesi dan suku bangsa di wilayah Indonesia bagian timur lainnya menyebut permainan ini dengan nama bunggo,
Riwayat
atau asal-usul pemainan bedil bambu diperkirakan terinspirasi dari
senjata yang digunakan oleh bangsa Portugis ketika berupaya menduduki
wilayah nusantara pada abad ke-6 Masehi. Meriam adalah salah satu
senjata modern yang dimiliki oleh Portugis. Bagi kalangan pribumi pada
masa itu, kehadiran meriam menjadi perhatian tersendiri. Orang-orang
pribumi yang melancarkan perlawanan terhadap Portugis kala itu sangat
takjub dan terheran-heran melihat keampuhan meriam yang bisa
melontarkan bola-bola panas dan mampu menimbulkan efek merusak yang
sangat mematikan.
Merujuk
pada kisah asal-usulnya tersebut, permainan meriam bambu atau bedil
bambu diwujudkan dalam bentuk “meriam” yang dibuat dari bahan bambu.
Cara memainkannya pun nyaris sama dengan penggunaan meriam sungguhan,
yakni dengan menyulut lubang yang ada di bagian pangkal bambu dengan
api. Kendati bisa berpotensi membahayakan, permainan meriam bambu ini
sangat digemari oleh anak-anak dan kaum remaja laki-laki di banyak
daerah di Indonesia. Tidak jarang sekumpulan anak laki-laki
berlomba-lomba membunyikan bedil bambu atau meriam bambu. Barangsiapa
yang berhasil menghasilkan suara ledakan paling keras, itulah yang
kemudian didaulat sebagai jagonya meriam bambu. Tidak jarang, karena
terlalu kerasnya suara dentuman yang ditimbulkan, meriam bambu bisa
menjadi pecah terbelah menjadi dua bagian.
Pada
prinsipnya, permainan meriam bambu sebenarnya bukan tergolong dalam
permainan yang bersifat kompetisi, melainkan hanya untuk hiburan
semata. Tidak hanya itu, permainan meriam bambu sudah menjadi tradisi
yang secara turun-temurun dimainkan secara rutin, bahkan dalam
perhelatan secara massal, pada momen-momen tertentu, misalnya pada
sepanjang bulan Ramadan, hari raya, maupun hari-hari besar keagamaan
lainnya dan dalam beberapa acara adat.
Di
tanah Minangkabau yang menjadi salah satu pusat peradaban Melayu,
misalnya, tradisi membunyikan meriam bambu sudah menjadi kebiasaan yang
rutin dilakukan ketika bulan puasa tiba. Para remaja di Sumatra Barat
membunyikan meriam bambu, yang oleh masyarakat di sana lebih dikenal
dengan sebutan meriam betung, setiap petang hari sembari menunggu waktu
buka puasa tiba. Biasanya, kalangan remaja di Minangkabau, terutama
yang masih bermukim di daerah-daerah pelosok, melakukan tradisi “perang
meriam betung” di sepanjang tepi sungai.
Demikian
halnya dengan masyarakat di Nanggroe Aceh Darussalam yang juga tetap
melestarikan tradisi memainkan meriam bambu. Untuk menyambut Idul
Fitri, misalnya, masyarakat Aceh di sejumlah wilayah menyulut meriam
bambu dari malam hari seusai shalat tarawih hingga menjelang waktu
sahur. Acara membunyikan meriam bambu di awal bulan Ramadan dan di
hari-hari terakhir puasa untuk menyongsong Lebaran telah menjadi
tradisi masyarakat Aceh sejak dari dulu.
Bahkan,
dalam rangka diselenggarakannya perhelatan meriam bambu yang diadakan
secara massal ini, masyarakat Aceh tidak tanggung-tanggung dalam
mempersiapkan acaranya. Puluhan atau bahkan ratusan batang bambu
digunakan sebagai bahan pembuat meriam bambu demi meramaikan suasana
Ramadan dan Lebaran. Puncak acara membunyikan meriam bambu terjadi pada
malam takbiran atau malam menjelang Lebaran di mana ratusan penduduk
di berbagai tempat di wilayah Aceh akan berbondong-bondong menyaksikan
acara yang meriah ini.
Di
Gorontalo, meriam bambu atau yang disebut dengan nama bunggo
dibunyikan hampir setiap menjelang waktu sahur di sepanjang bulan
puasa. Sejak awal Ramadan, anak-anak dan remaja pria di Gorontalo mulai
mengumpulkan bambu sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan bambu yang
terbaik. Tujuannya adalah untuk membangunkan warga yang hendak
bersiap-siap melakukan santap sahur di bulan puasa. Sejak pukul
02.00-03.00 dini hari, anak-anak dan kaum remaja pria di Gorontalo
sudah terjaga dari tidurnya untuk bersiap-siap dan kemudian
beramai-ramai membangunkan warga yang lain dengan dentuman meriam bambu.
Meskipun suara dentuman bunggo cukup keras dan memekakkan telinga,
warga Gorontalo mengaku sudah terbiasa dengan tradisi yang telah
berjalan turun-temurun ini, dan justru merasa terbantu untuk bangun
guna mempersiapkan santapan sahur.
Hal
yang sama juga terjadi di Jawa, dari Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, hingga Madura. Di Jawa Tengah, meriam bambu disebut dengan
nama long bumbung, sementara di Yogyakarta meriam bambu dikenal dengan
sebutan mercon bumbung. Sama seperti di daerah-daerah lainnya di
Indonesia, mercon bumbung atau long bumbung dibunyikan pada setiap
bulan Ramadan dan menjelang hari raya Idul Fitri. Selain dibunyikan
pada malam setelah shalat tarawih, tidak jarang long bumbung juga
diledakkan pada siang atau sore hari. Permainan ini memang sangat
menantang dan sering digunakan sebagai senjata dalam permainan
perang-perangan.
Di
Klaten, Jawa Tengah, misalnya, anak-anak di sana memainkan long bambu
di tepi sungai dengan cara membagi menjadi dua kelompok. Kedua kubu ini
menempati posisi yang saling berseberangan di masing-masing sisi
sungai sehingga mirip perang sungguhan. Tidak hanya perang suara saja,
melainkan perang dengan saling melontarkan kaleng bekas susu yang
dipasang di bagian moncong depan long bumbung sebagai “pelurunya”.
Ketika ditembakkan, kaleng tersebut akan meluncur menuju ke arah kubu
lawan yang biasanya segera terjun ke sungai untuk menghindari terkena
tembakan.
Warga
Kebumen, Jawa Tengah, membuat meriam bambu atau mercon bumbung tidak
hanya pada setiap bulan puasa dan Lebaran saja, namun juga untuk
memperingati hari-hari besar agama Islam lainnya, seperti dalam rangka
memperingati Maulid Nabi. Ratusan mercon bumbung dibuat untuk kemudian
dibunyikan dan saling bersahutan. Biasanya, tradisi ini dilangsungkan
di halaman masjid. Tradisi membunyikan mercon bumbung ini dilakukan
dengan tujuan untuk memeriahkan hari besar Islam sekaligus merupakan
luapan kegembiraan warga. Tidak hanya anak-anak saja yang terlibat
dalam acara ini, melainkan para remaja, pemuda, bahkan orang tua. Untuk
memperkuat bunyi ledakan, amunisi yang digunakan untuk menyulut mercon
bumbung bukanlah minyak tanah seperti yang lazim dipakai di banyak
daerah lain, namun menggunakan karbit.
Selain
di daerah-daerah yang telah disebutkan di atas, masih banyak daerah
lainnya di Indonesia dan wilayah Melayu serumpun, termasuk Malaysia dan
Brunei Darussalam, lainnya yang mengenal tradisi permainan meriam
bambu. Permainan meriam bambu masih bertahan hingga saat ini karena
ditradisikan secara turun-temurun dan selalu diselenggarakan rutin
setiap tahunnya dengan mengambil momen-momen tertentu.
2. Bahan dan Cara Pembuatan
Sesuai
dengan namanya, bahan utama untuk membuat meriam bambu adalah batang
pohon bambu. Usia batang bambu, ukuran besar diameter bambu, dan ukuran
panjang batang bambu akan mempengaruhi keras atau tidaknya letusan.
Semakin tua usia bambu dan semakin besar diameter bambu, maka akan
semakin keras pula ledakan yang nantinya dihasilkan. Selain bambu
sebagai bahan utamanya, ada beberapa peralatan lainnya yang harus
disiapkan untuk membuat meriam bambu, antara lain parang untuk menebas
dan membersihkan batang bambu, tali atau karet yang diambil dari ban
motor bagian dalam untuk mengikat batang bambu, linggis untuk melubangi
bambu, secarik kain, sebatang kayu kecil untuk menyulut meriam bambu,
serta minyak tanah atau karbit yang ditambahkan dengan air dan garam
sebagai bahan bakarnya.
Cara
pembuatan meriam bambu adalah, mula-mula siapkan batang bambu dan
potong dengan ukuran panjang sesuai selera, tapi biasanya antara 1,5-2
meter atau 3-4 ruas, dan diameter berukuran sekitar 4 inci. Kemudian,
permukaan batang bambu dilubangi dengan jarak sekitar 10 cm dari
pangkal batang bambu. Besarnya diameter lubang dikira-kira sebesar
ibujari. Lubang inilah yang akan menjadi tempat untuk menyulut meriam
bambu.
Langkah
selanjutnya adalah ikat kuat-kuat sekitar sambungan ruas bambu dengan
tali atau karet ban untuk memperkuat kapasitas bambu dari tekanan
tenaga yang dihasilkan ketika disulut. Sambungan ruas di antara pangkal
dengan ujung meriam kemudian dilubangi dengan menggunakan linggis.
Sambungan ruas bagian dalam harus dipastikan dilubangi dengan baik dan
hampir rata dengan diameter bambu. Hal ini sangat penting agar tekanan
yang dihasilkan tidak tertahan sehingga membuat bambu mudah pecah
ketika dibunyikan.
3. Pemain
Untuk
memainkan meriam bambu ini sebaiknya dilakukan oleh orang laki-laki
dewasa. Namun pada kenyataannya, banyak juga kaum remaja, bahkan
anak-anak yang senang memainkan meriam bambu ini. Meskipun bisa
membahayakan, namun tampaknya permainan meriam bambu ini sudah menjadi
kelaziman di kalangan masyarakat luas untuk memeriahkan bulan Ramadan,
hari raya, hari besar keagamaan, dan acara-acara bernuansa adat.
4. Waktu dan Tempat Permainan
Meriam
bambu sangat marak dibunyikan untuk memeriahkan bulan puasa dan untuk
menyambut hari raya Idul Fitri, terutama pada malam takbiran atau malam
sebelum Lebaran tiba. Selain itu, beberapa kalangan masyarakat di
sejumlah daerah di Indonesia dan negeri-negeri Melayu serumpun juga
menggelar acara permainan meriam bambu ini dalam rangka peringatan
hari-hari besar keagamaan dan acara-acara adat, seperti perkawinan,
khitanan, serta upacara adat lainnya.
Sedangkan
mengenai tempat yang digunakan untuk membunyikan meriam bambu bisa
bermacam-macam. Umumnya, meriam bambu diletakkan secara berjajar di
sepanjang tepi sungai dan kemudian disulut secara bergantian. Ada juga
yang membunyikan meriam bambu di halaman depan masjid ketika
memperingati hari besar keagamaan. Namun, secara umum, meriam bambu
dibunyikan di tempat-tempat yang luas dan jauh dari pemukiman penduduk,
seperti di lapangan, di kebun, di sawah, di ladang, dan lain
sebagainya.
5. Cara Permainan
Setelah
meriam bambu selesai dibuat, maka sudah siap untuk dibunyikan. Bahan
bakar yang digunakan bisa berupa minyak tanah atau karbit yang dicampur
air dengan takarn tertentu. Jika memakai air karbit, bisa pula
ditambahkan sedikit garam untuk memperbesar suara dentuman. Cara
mendentumkan meriam bambu adalah dengan menuangi minyak tanah atau air
karbit ke dalam lubang tempat penyulutan. Kemudian, seutas kayu yang
sudah dililit dengan kain dan dicelupkan ke minyak tanah lalu diberi
api, digunakan sebagai alat penyulut. Sebaiknya berhati-hati dalam
melakukan permainan ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
6. Keahlian Khusus
Untuk
memainkan meriam bambu sebenarnya tidak memerlukan keahlian khusus,
namun disarankan agar berhati-hati karena bisa membahayakan. Jika tidak
cermat dan waspada ketika menyulut, percikan api yang ditimbulkan bisa
mengenai wajah. Oleh karena itu, bagi anak-anak yang belum cukup umur
disarankan untuk tidak menyulut meriam bambu ini. Namun demikian, untuk
para remaja dan kaum lelaki dewasa juga diharapkan tetap berhati-hati
ketika menyulut meriam bambu.
7. Nilai-nilai
Meskipun
mengandung resiko yang membahayakan, namun permainan meriam bambu
mengandung nilai-nilai luhur dalam ranah budaya Melayu yang sangat
berguna bagi masyarakat. Beberapa nilai luhur yang terkandung dalam
permainan meriam bambu antara lain:
- Memaknai perayaan hari besar. Permainan meriam bambu dilakukan sebagai salah satu cara untuk menyambut datangnya hari-hari besar, semisal bulan Ramadan, hari raya, hari besar keagamaan, ataupun hari besar adat.
- Wujud syukur dan kegembiraan. Sebagai wujud syukur dan ungkapan kegembiraan atas perjuangan dan keberhasilan yang diperoleh, misalnya sebagai ungkapan syukur telah berhasil menunaikan ibadah puasa selama bulan Ramadan.
- Melestarikan tradisi. Permainan meriam bambu adalah salah satu dari sekian banyak kekayaan tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Melayu sehingga sangat perlu untuk dilestarikan agar tidak punah tergerus perkembangan zaman.
- Melatih kreativitas. Meriam bambu bukanlah permainan yang bisa dibeli dengan mudah seperti kebanyakan permainan modern yang ada saat ini. Untuk bisa memainkan meriam bambu seseorang harus membuatnya sendiri. Proses pembuatan meriam bambu inilah yang menjadi proses kreatif seseorang.
- Melatih keberanian. Memainkan meriam bambu memang mengandung resiko bahaya, namun jika tetap berhati-hati dan selalu waspada dalam memainkannya, justru dapat melatih keberanian seseorang.
8. Penutup
Meriam
bambu merupakan salah satu permainan tradisional yang dimiliki oleh
bangsa-bangsa Melayu serumpun. Permainan ini harus terus dijaga
kelestariannya supaya tidak punah meskipun di zaman sekarang, terutama
di kota-kota besar, tradisi permainan meriam bambu sudah mulai sulit
ditemukan, selain karena tergeser oleh berbagai macam jenis permainan
modern juga karena sulit didapatnya bahan-bahan untuk membuat meriam
bambu ini yang berasal dari bahan-bahan yang disediakan oleh alam.
(Iswara N. Raditya/Bdy/01/09-2011)
Sumber Foto:http://ramadan.okezone.com
CAra buatnya mana goblokk
BalasHapus